Sabtu, 05 Februari 2011

Menenggarai Peran Federasi Sepakbola

Pemain Jerman
Dalam sebuah wawancara yang panjang lebar, bekas pemain dan pelatih tim nasional Jerman Juergen Klinsmann bercerita tentang rahasia di balik konsistensi penampilan timnasnya di berbagai turnamen internasional.

Kalau dipukul rata dari sisi konsistensi, Jerman adalah negara paling sukses di Eropa. Bayangkan, negara ini memenangi tiga Piala Dunia dan Piala Eropa. Mereka juga runner up empat kali Piala Dunia dan tiga kali Piala Eropa. Artinya Jerman sudah tujuh kali masuk final Piala Dunia dan enam Piala Eropa. Itu masih di luar semifinal atau perempatfinal. Dan prestasi-prestasi itu diraih kadang ketika kualitas personel sedang berada di bawah negara besar sepakbola lain. Contohnya saja pada Piala Dunia Afrika Selatan kemarin. Turun dengan materi pemain muda dan sebagian besar bisa kita bilang debutan. Hebatnya Jerman masih bisa sukses dengan meraih tempat ke-3.

Klinsman menekankan bahwa tidak ada formula yang luar biasa mengenai penampilan Jerman. Ia kemudian merujuk pada pengalamannya saat mempersiapkan Jerman untuk Piala Dunia 2006.

Oleh Federasi Sepakbola Jerman atau Deutsher Fussball Bund (DFB) ia diberi kuasa penuh untuk menentukan pola permainan yang akan dimainkan oleh tim nasional. Dan setelah melakukan pemantauan pemain, ia bersama asistennya, Joachim Loew kini pelatih kepala Der Panzer --, memutuskan sebuah konsep permainan yang mengandalkan kecepatan permutasi blok-blok pemain. (Bentuk jelasnya seperti yang kita lihat pada Piala Dunia yang baru lewat).

Konon menurut Klinsman sistem ini tidak terlalu memberatkan permainan pada pemain bintang tertentu. Karena setelah melakukan pemantauan pemain, Klinsman tak menemukan satu, dua atau tiga pemain bintang yang akan cukup kuat mengangkat tim. Tidak juga pada Michael Ballack yang saat itu dipilih Klinsman menjadi kapten tim.

Setelah menentukan konsep permainan yang mereka inginkan, Klinsman dan Loew kemudian membawa konsep mereka kembali ke DFB. Yang unik adalah, DFB atas permintaan Klinsman kemudian mensosialisasikan pola permainan yang akan dimainkan oleh tim nasional kepada semua anggota Bundesliga. Bukan sekadar mensosialisasikan, DFB -– konon menurut Klinsman atas permintaannya -- bahkan mengharuskan tim-tim Bundesliga untuk juga menerapkan pola permainan tim nasional di klub. Lagi-lagi menurut Klinsman, anggota Bundesliga mematuhi perintah DFB tersebut, walau tentu saja dengan derajat yang berbeda karena tergantung dengan karakter pemain dan pelatih yang kadang asing.

Langkah yang ditempuh Klinsman mempunyai latar logika yang sederhana namun sangat bisa dimengerti. Siapapun pemain yang akan dipanggil oleh tim nasional, maka mereka akan dengan mudah beradaptasi dan hafal dengan apa yang harus dilakukan. Tidak ada perbedaan pola permainan di klub maupun di tim nasional. Pergantian pemain layaknya pergantian sekrup dalam sebuah mesin industri. Mekanistis, efisien, dan klinis.

Klinsman tidak secara langsung mengatakan bahwa hubungan antara pelatih tim nasional, DFB maupun anggota Bundesliga selalu seperti yang ia alami. Tetapi akan sangat mengejutkan kalau apa yang ia alami adalah sebuah kasus khusus yang tidak berasal dari tradisi (berpikir dan budaya) persepakbolaan Jerman.

DFB sepenuhnya sadar bahwa secara teknis permainan, pelatihlah yang mempunyai kewenangan dan konsep. Namun DFB-lah yang mempunyai kekuatan administratif untuk membantu mewujudkan keinginan pelatih. DFB sadar, tanggung jawab mereka sebagai otoritas sepakbola nasional bukan sekadar menunjuk pelatih lalu selesai, tetapi juga membantu sesuai permintaan pelatih timnas untuk melakukan apa yang diperlukan. Termasuk juga membentuk mentalitas pemain.

Entah meniru entah tidak, atau sekadar runtutan logika yang wajar saja, model hubungan pelatih nasional, DFB dan anggota Bundesliga ini, kini jamak dilakukan di Eropa. Tidak persis sama tetapi dengan garis kebijakan yang mirip.

Keberhasilan Spanyol untuk menjuarai Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010 dilatari oleh konsep permainan yang digariskan oleh pelatih nasional untuk tim nasional atas permintaan Federasi Sepakbola Spanyol atau Real Federacion Espanolla de Futbol (RFEF). Dari tim nasional untuk remaja, di bawah usia 17, 19 dan 21 tahun memainkan pola yang sama.

RFEF memastikan bahwa pola yang diinginkan pelatih timnas dimengerti oleh anggota La Liga. Walau tidak seradikal DFB yang mengharuskan anggota Bundesliga memainkan pola permainan tertentu, Spanyol beruntung mempunyai Barcelona, dan dalam batas tertentu Real Madrid, yang begitu dominan menyumbang pemain nasional untuk semua tingkatan umur. Kepada merekalah pola permainan tim nasional disandarkan.

Prancis ketika berjaya menjadi juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 juga mempunyai kemiripan dengan Jerman dan Spanyol. Peran federasi mereka sangat besar. Berdasar masukan dari para pelatih seantero Prancis, mereka membentuk pusat-pusat pelatihan sepakbola untuk remaja-remaja berbakat dan dibentuk mentalitas dan kemampuan bersepakbolanya untuk memenuhi standard permainan yang seragam yang diinginkan pelatih tim nasional.

Apa yang dilakukan Jerman, Spanyol dan Prancis adalah sebuah pendekatan holistik dalam membentuk tim nasional yang tangguh dengan federasi sepakbola nasional memainkan peran sentral. Dan peran sentral itu hanya bisa dimainkan oleh sebuah badan yang berwibawa, dipercaya dan mempunyai visi yang teguh. Persoalannya, menjalankan badan yang demikian bukanlah hal yang mudah. Kalau seperti ini saya jadi teringat sepakbola Indonesia.


Sumber : detikscom

* Penulis adalah wartawan
detikcom, tinggal di London.

0 komentar:

Posting Komentar

tolong kritik & sarannya
harap berkomentar dengan kata-kata yang pantas
trim's

Bookmark and Share

Modified by Blogger Tutorial

Blogger Communities ©Template Nice Blue. Modified by Indian Monsters. Original created by http://ourblogtemplates.com Blogger Styles

TOP